Saya dan Wiji Thukul

Setelah melewati drama yang cukup panjang, akhirnya saya dan komrad duduk nyaman di deretan kursi teratas. Saat menonton, itu adalah spot favorit kami. Gangguannya tidak terlalu banyak. Dan sekitar 5 menit kemuidan, film dimulai. Saya mempersiapkan diri dengan tidak berharap apa-apa lewat film ini. Komitmen menonton kami, saya khususnya adalah bentuk  apresiasi besar terhadap usaha orang-orang dibalik film ini. Mengangkat tema film dengan penokohan Wiji Tukul, lalu kemudian menembus pasar bioskop XXI di tengah gempuran film Indonesia yang kebanyakan hanya mengangkat perkara rasa dan atau gelitik saja, bukanlah perkara mudah. Bersyukur, masih ada orang-orang yang tidak berhenti bekerja untuk hal-hal tersebut.

Yah, kami jauh hari telah merencanakan akan berada di sini tepat di hari pertama pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata. 19 Januari 2017. Menurutku, bukan kebetulan bahwa hari itu 10 tahun yang lalu, di Kamis yang sama, juga kali pertama aksi Kamisan digelar. Aksi yang tidak berhenti berharap  untuk membawa “mereka” kembali. Mereka adalah yang dihilangkan paksa oleh negara saat bergolak di pertengahan 97 hingga 98. Aksi dimana keluarga terus berdiri dan tidak berhenti untuk bertanya “kapan mereka kembali?”. Pun, termasuk  Wiji Thukul.

Saya mengenal Wiji Thukul, dari puisi-puisinya di “Aku Ingin Jadi Peluru”. Buku puisi itu kumal, kusam milik seorang kawan. Lewat buku itu, saya juga baru sadar bahwa ternyata petikan “Hanya Ada Satu Kata ”LAWAN” yang sering diteriakkan di mimbar aksi saat itu, adalah potongan puisi PENINDASAN miliknya. Setelah meminjam buku itu dan tidak lagi kami kembalikan pada si empunya, saya tidak berhenti mengenali Wiji Thukul. Puisi-puisinya lugas, berbicara jelas, menegasikan kaidah, melupakan rima, mengacuhkan bunyi, tapi justru sangat kuat. Yang membuat puisinya kuat karena bercerita dengan jujur. Dan saya entah bagaimana, tiba-tiba merasa dekat dengan semua tulisannya. Lalu, puisi-puisinya mulai menemani malam-malam puisi, mulai jadi lakon di atas panggung, potongan-potongan puisinya kerap saya jadikan naskah teater, hingga kini, bahkan saya jadikan lullaby untuk mahasuar.  Yang juga berkesan, adalah saat saya memasukkannya dalam 10 Tokoh Sastra Indonesia yang harus dikenal untuk murid SMP yang saya ajar.  Pak Kepala Sekolah memanggil saya dan bertanya siapa “Wiji Thukul?”. Saya tersenyum dan menjelaskan panjang lebar. Penjelasan saya tidak masuk  akal menurut Pak Kepala Sekolah, dan menyuruh saya menghapus Wiji Thukul dalam buku saya. Saya tidak melakukannya, pun menyesal karena saya mengundurkan diri sebelum sempat mengajarkannya.

Perjalanan saya, sungguh tidak bisa saya lepaskan dari puisi-puisi Wiji Thukul. Dengan bergegas menonton, serupa upaya saya untuk melihat banyak hal yang  telah saya lalui bersama puisi-puisinya. Harapannya sederhana, saya mungkin akan melihat Wiji Thukul dari medium yang berbeda yaitu film, dan mungkin akan berbeda dari saat mengenalnya lewat buku. Tentunya, perspektifnya sangat subjektif.  Seingat saya, sampai setelah berumah tangga, saya tidak pernah ingin mengulik kisah keluarganya yang pasti menyedihkan. Itu adalah konsekuensi yang pastinya Wiji Thukul pahami atas pilihannya di jalan yang sunyi. Ini juga termasuk hal yang saya lakukan untuk menjaga sosok Wiji Thukul tetap tangguh dalam ingatan. Yang suaranya bergetar saat membaca puisi pemberontakan. Yang ringkih tubuhnya menolak tunduk dan patuh. Tapi, menjadi ibu kemudian, membuat saya akhirnya mulai banyak melihat dari mata Sipon, dan anak-anaknya, bahwa yang mereka jalani selama belasan tahun tanpa suami dan bapak, adalah masa-masa yang sangat berat.

Dan betul, film ini mengangkat Wiji Thukul di awal masa pelariannya. Mengambil latar berbagai tempat dimana Wji Thukul lari dan bersembunyi pasca kerusuhan 27 Juli 1997, dan hari-hari berat yang dilalui Sipon di rumah bersama anak-anaknya. Alur yang disuguhkan begitu lambat dan minim dialog. Saya yakin, jika bukan tentang Wiji Thukul, saya telah tertidur. Namun, alur nan lambat itu seperti memberi celah yang lapang bagi penonton untuk meresapi diam, suara-suara, langkah-langkah, decit ban, kubangan air, suara motor, semuanya seperti bersinergi pelan dalam ritme bernama kesunyian dan ketakutan. Film ini menyuguhkan Wiji Thukul dalam sosok berbeda dari lelaki garang yang  puisinya bikin ciut penguasa. Tapi, justru di sisi lain, saya melihatnya menjadi sangat kuat sebagai seorang lelaki, suami dan bapak. Ia terkepung rindu, diburu ketakutan, berteman cemas, insomnia berhari-hari, dan ia bertahan. Ia bahkan tetap menulis. Ia bahkan tetap memaki. Keseluruhan film dikemas utuh, tidak satupun yang melenceng, properti yang digunakan, tempat yang dipilih, semua terkoneksi dengan apik. Dan aktor aktrisnya tidak mengecewakan, apalagi Gunawan Maryanto,  pemeran wiji Thukul, berlakon hampir sempurna, Marissa pun menampilkan acting yang sama kerennya. 

Film ini, setelah tayang di hari pertama, menjadi viral di media sosial. Setidaknya di timeline ku. Banyak yang bercerita, banyak yang pamer saja, banyak yang tidak setuju Wiji Thukul nongkrong di XXI, banyak yang sepakat Wiji Thukul mulai menemani anak muda kekinian, banyak yang bilang isinya tidak revolusioner, targetnya pasar semata, atau 90 menit yang sia-sia. Dan, menurut saya film ini berhasil. Berhasil masuk di XXI. Berhasil membuat banyak orang yang jarang ke bioskop, datang tepat waktu demi tidak tertinggal satu adegan pun. Dan keberhasilan-keberhasilan kecil lainnya. Dan, saya menunduk hormat untuk semua orang yang terlibat dalam pembuatan film ini. Juga untuk keluarga Wiji Thukul yang menyetujui kisah mereka untuk difilmkan. Yah, seperti yang ERK bilang -Mereka yang hilang akan jadi katalis. Mereka yang tinggal tak akan berhenti bertanya “kapan pulang?” dan film ini bisa jadi katalis baru, dalam bentuk yang berbeda, sekaligus media yang popular untuk terus bergerak maju, untuk terus bertanya “kapan mereka pulang?”. Setidaknya, semakin banyak yang tahu bahwa negara ini bertanggung jawab atas hilangnya Wiji Thukul dan nama-nama lain yang terus tertulis di setiap Kamis. Maka berhentilah berdebat, duduk dan datanglah untuk menonton.

Saya akan ingat Kamis itu, kamis dimana saya semakin yakin bahwa pilihan pilihan yang sering menemui jalan buntu hanyalah kerikil kecil. Mereka yang berani, akan melewati itu dengan berani pula. Yang pengecut, akan berkilah, mengeluh, menghasut atau menulis status umpatan saja. Dan Kamis itu juga adalah Kamis  getir yang membuat saya merasa bahwa sebagian puisi puisi Wiji Thukul sungguh pilu yang menyakitkan. Dan saya tidak menyesal telah melewati malam panjang demi menonton film itu. 

Wesabbe, 26 Januari 2017
Ibu MahaSuar

Komentar

Postingan Populer